Poco Leok Melawan

Panas Bumi Mengubah Wajah Poco Leok

Panas Bumi Mengubah Wajah Poco Leok
Sumber Gambar: Dokumentasi pribadi penulis

Oleh: Jimy Ginting

Pertama kali menginjak kaki di tanah Poco Leok, Oktober 2024 lalu, ada rasa takjub melihat keindahan akibat keunikan topografi yang dimiliki oleh Poco Leok. Hambatan sinyal telekomunikasi di wilayah tersebut seolah terlupakan merasakan penerimaan warga terhadap orang asing yang masuk ke wilayah mereka. Hangat dan bersahaja. Dibalik wajah riang itu, ternyata Poco Leok menyimpan kekuatiran mendalam akan nasib mereka menghadapi rencana pembangunan (pengembangan) pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Ulumbu milik PT PLN. Kita semua tahu ada konflik di Poco Leok. Tulisan ini tidak ingin berfokus pada konfliknya, akan tetapi melihat dari sudut pandang pengalaman pribadi selama lebih dari 2 minggu tinggal dan hidup di Poco Leok terkait potensi konflik horizontal yang ditimbulkan akibat rencana pembangunan tersebut.


Terlepas adanya dugaan pelanggaran free, prior, inform and consent (FPIC) yang terjadi di Poco Leok – hal ini juga sudah dikonfirmasi oleh pihak KfW Bank melalui konsultan independen mereka – Masyarakat Adat Poco Leok mengamini bahwa mereka berubah sejak dimulainya rencana pembangunan. Perubahan yang signifikan antara lain adalah pada hubungan (relasi) sosial antar warga.  Penting diingat, 14 Gendang warga adat Poco Leok mempunyai hubungan baik kesejarahan dan darah. Juga penting diingat, konteks pemikiran ini dipengaruhi dari sudut pandang orang Poco Leok yang tinggal di dalam wilayah, bukan yang tinggal dan hidup di luar wilayah Poco Leok. Hari ini, hubungan lekat tersebut telah retak. 



Masyarakat Terbelah


Terdapat 4 dari 14 Gendang yang menerima rencana pembangunan PLTP Ulumbu 5&6 di Poco Leok. Sisanya menolak. Fakta lainnya, dari masing-masing Gendang tersebut – baik yang menerima ataupun menolak – juga memiliki pendapat pribadi yang saling bertolak belakang, meskipun jumlahnya tidak dominan di masing-masing Gendang. Misal, di Gendang yang menerima, ada juga pihak yang menolak, tetapi jumlahnya sedikit. Lalu apa konsekuensi dari perbedaan pandangan itu? Pengusiran, ketidakpedulian dan prasangka negatif adalah hasilnya. Mereka yang berbeda kini tidak lagi dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan penting komunitas, semisal Penti dan Dodo. Semangat gotong-royong pudar. Lalu di mana peran aparat pemerintah sebagai pengayom masyarakat? Peran mereka justru menjadi salah satu faktor masalah. Pembangunan PLTP Ulumbu sebagai proyek strategis nasional (PSN) dijadikan alat pemecah oleh aparat pemerintah lewat pesan tegas, masyarakat harus mendukung proyek tersebut. Akan tetapi, hak dasar Masyarakat Adat sebagaimana diakui oleh dunia internasional dan instrumen hukum nasional tidak terlalu dipedulikan dengan argumentasi kepentingan nasional. Masyarakat Manggarai tentu tidak lupa akan sejarah tragedi kemanusiaan yang dulu pernah terjadi. Semua bermula dari pecah belah dan minimnya transparansi. 


Kepentingan Nasional Mengalahkan Kepentingan Komunitas?


Betulkah kepentingan nasional mengalahkan kepentingan atau hak Masyarakat  Adat Poco Leok? Jika kita mau membaca perlahan beberapa aturan internasional dan nasional maka sesungguhnya keduanya sama pentingnya, tentu dengan prasyarat. Meskipun demikian, patut dicatat bahwa hak dasar Masyarakat Adat dan ataupun masyarakat tradisional tidak dapat dibatasi dengan alasan apapun. Hak-hak dasar mereka seperti hak menentukan nasib sendiri, hak untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat, hak berpartisipasi di dalam kehidupan dan berkebudayaan serta hak atas tanah dan wilayah merupakan beberapa hak yang dimaksud. Mari kita lihat dan bandingkan apa yang terjadi di Poco Leok. Dapat disimpulkan, hak-hak tersebut tidak diindahkan. Tanah ulayat kini dipandang sebagai tanah pribadi, persetujuan di awal menjadi pembangunan di awal, bahkan lebih buruk, informasi yang diberikan tidak berimbang serta penuh dengan ketidakjelasan. Dengan kata lain, penolakan warga merupakan bentuk ekspresi prinsip atas pelanggaran hak-hak dasar mereka. JIka anda tidak malas membaca, silahkan lihat UNDRIP, CEDAW, ICESCR, ICCPR, CERD, CBD, UUD 1945, UU HAM, Perkapolri Nomor 7 Tahun 2022 dan SNP Komnas HAM Nomor 7 sebagai permulaan. Kepentingan nasional akan berjalan dengan baik apabila penghormatan dan pengakuan terhadap kepentingan dan hak Masyarakat Adat juga diimplementasikan secara baik. Lalu siapa sebenarnya yang tidak mendukung kepentingan nasional?


Butuh kesadaran dan kerendahan hati bagi semua pihak melihat persoalan Poco Leok. Kita tidak hanya mengatur soal objek, lebih jauh dari itu, kita mengelola banyak jiwa. Poco Leok kini berubah wajah. Ia kini lebih muram. Wajah cerah Poco Leok hanya dapat dikembalikan dengan dukungan banyak pihak yang sadar bahwa jiwa lebih penting daripada uang. Anda yang tentukan.


Penulis adalah Advokat dan Peneliti di Terranusa Institute

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak