Foto: Kapela Stasi Kampung Mocok (Dokumentasi Warga) |
Saya ingat baik ketika beberapa bulan yang lalu (sekitar 16 Mei 2024), saya membagikan postingan Facebook Pater Rio Nanto, SVD tentang tesisnya “Teologi Ro’eng” (rakyat biasa).
Bagi saya, itu adalah ulasan menarik yang sangat kontekstual, terlebih ketika Pater Rio mensinkronkannya Sebagai model Teologi Pembebasan di Manggarai, secara khusus Pembangunan Pariwisata Super Premium di Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Baginya, pariwisata yang menjadi salah satu sektor unggulan dalam peningkatan ekonomi masyarakat, berbarengan dengan runyamnya konflik agraria, menguatnya kasus deforestasi, dan privatisasi tanah-tanah masyarakat lokal dari pariwisata tersebut.
Fenomena di atas bagi oknum-oknum tertentu, terlihat sebagai hal yang biasa dan cukup mereduksi progresivitas pariwisata super premium Labuan Bajo. Namun bagi bagi sebagian masyarakat, itulah penderitaan yang sesungguhnya yang perlahan justru merenggut kesejahteraan mereka.
Misalnya, peralihan status sosial dari warga lokal yang tinggal di pedalaman Pulau Komodo. Pada awalnya mereka berprofesi sebagai pemburu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun ketika pulau itu dijadikan kawasan wisata, mereka harus menyesuaikan profesinya menjadi nelayan, karena keberadaan mereka di pulau itu dinilai akan mengganggu habitat komodo dan perkembanganya.
Tidak cukup sampai disitu, setelah beberapa tahun lamanya mereka bekerja sebagai nelayan, mereka kemudian dialihkan lagi profesinya menjadi Penjual Souvenir karena lautnya yang menjadi tempat pariwisata.
Teologi Ro’eng Ialah Sikap Yesus yang Selalu Membela Hak-hak Orang Miskin
Maka selanjutnya, Teologi Ro’eng bagi Pater Rio Nanto tidak hanya bergelut dalam refleksi, tetapi berdimensi transformatif melalui gerakan perlawanan terhadap sistem yang mengorbankan orang-orang miskin dan terpinggirkan.
Pater Rio menulis bahwa inspirasi utamanya dalam Teologi Ro’eng ialah sikap Yesus yang selalu membela hak-hak orang miskin.
Oleh karena itu, saya mendukung bahwa konsep Teologi Ro’eng yang ditulis oleh Pater Rio Nanto sekiranya menjadi peluang pengembangan gerakan progresif dalam Gereja berhadapan dengan persoalan pembangunan pariwisata Super Premium Labuan Bajo.
Pariwisata Labuan Bajo gagal mendorong kemajuan ekonomi, sebaliknya telah merampas tanah-tanah masyarakat lokal. Konsekuensinya, masyarakat kehilangan tanah di tanah air mereka sendiri.
Merespons desain pariwisata yang berwatak neoliberal tersebut, tulis Rio Nanto, Gereja Keuskupan Ruteng telah melakukan riset lapangan untuk menemukan akar persoalan. Gereja Keuskupan Ruteng kemudian memilih tema “Pariwisata Holistik” dalam sidang pastoral Post-Natal di Rumah Retret Putri Karmel Wae Lengkas, Ruteng pada tanggal 4-7 Januari 2022.
Namun, bagi Pater Rio, pelbagai program pariwisata holistik-integral tidak menyelesaikan masalah mendasar dalam pembangunan pariwisata Super Premium Labuan Bajo.
Beralih dari imam SVD Pater Rio, saya juga sangat terkesan dengan pernyataan sikap penolakan terhadap Proyek Geotemal dari tokoh imam SVD yang lain. Beliau adalah Uskup Agung Ende, Mgr. Pater Budi Kleden.
Ya, selain persoalan pariwisata yang ditulis oleh Pater Rio di atas, pulau Flores juga sudah ditetapkan sebagai pulau panas bumi (Geothermal) sejak tahun 2017 oleh kementerian ESDM.
Sejumlah wilayah Keuskupan Agung Ende (Sokoria dan Mataloko) menjadi lokasi yang sudah ditetapkan dan tengah berlangsungnya Proyek Geothermal.
Pernyataan sikap penolakan tersebut disampaikan oleh Uskup Budi pada, 6 Januari 2025 saat perayaan natal dan tahun bersama para Imam di Keuskupan Agung Ende.
Pernyataan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi menjadi sikap tegas Gereja di wilayahnya. Yang menarik dalam pernyataannya itu, Uskup Budi menekankan pentingnya mendengar langsung kesaksian masyarakat setempat yang dekat dengan wilayah eksploitasi.
Hal ini hemat saya, karena Uskup Budi sudah hadir dan menyaksikan langsung penderitaan dan kehancuran yang dialami oleh warga setempat yang dekat dengan lokasi pengeboran.
Warga lokal kerap kali dirugikan dengan pelbagai riset ilmiah dan studi akademis yang menjanjikan energi terbarukan dan ramah lingkungan yang bagi masyarakat setempat sangat tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Di Mataloko Kabupaten Ngada misalnya, pengeboran yang tidak terkendali menyebabkan lumpur panas keluar di berbagai titik, lahan pertanian warga rusak, tanaman tak lagi subur, dan ancaman kerusakan lingkungan semakin nyata.
Sementara itu, di Sokoria, nasib yang sama dialami warga. Tanaman kopi misalnya banyak yang kering akibat eksplorasi geotermal bahkan masyarakat khawatir eksploitasi ini bisa memicu bencana besar seperti kasus lumpur lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.
Menurut kesaksian masyarakat setempat, proyek ini lebih banyak merugikan warga dari pada manfaatnya. Dan bagi uskup Agung Ende pembangunan haruslah membawa kebaikan bagi masyarakat, bukan malah sebaliknya. Maka sebagai bentuk tanggung jawab moral, Uskup Agung Ende menolak Proyek geotermal yang beroperasi di wilayahnya dan meminta para imam di sejumlah kevikepan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang risiko dan dampak negatif dari energi Gotermal. Baik secara ilmiah maupun kesaksian masyarakat setempat.
Sikap Tegas Uskup Merupakan Prinsip Etis dan Tanggung Jawab Ekologis
Bagi saya, penolakan eksplorasi geotermal keuskupan Agung Ende adalah panggilan untuk melindungi umat dan menyelamatkan pulau flores secara umum. Saya melihat bahwa penolakan adalah suatu bentuk keberanian moral yang mendasarkan diri pada prinsip etis dan tanggung jawab ekologis.
Keputusan ini mencerminkan sikap autentik untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam, yang sering kali terancam oleh godaan materialisme dan eksploitasi. Namun, keputusan ini tidak cukup jika tidak dibarengi dengan tanggung jawab kolektif dari seluruh komponen masyarakat, termasuk pemerintah dan rakyat, untuk menolak godaan pragmatisme ekonomi semata.
Kita perlu membangun kesadaran komunal bahwa, keberlanjutan lingkungan adalah nilai intrinsik yang melampaui segala kepentingan finansial. Semoga langkah ini menjadi gerakan etis yang lebih luas, di mana manusia tidak hanya melihat alam sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai subjek yang memiliki martabat dalam tatanan kosmik. Terima kasih Bapak Uskup.
Adanya Dualisme Sikap Gereja
Setelah melihat tulisan dan sikap dari kedua tokoh penting agama itu, saya menilai bahwa ada dualisme dalam warga gereja masa kini.
uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, misalnya sejauh ini tidak memberikan sikap keberpihakannya terhadap persoalan geotermal di wilayah keuskupannya, yaitu di Poco Leok.
Artinya bahwa kita sedang berhadapan dengan dualisme sikap dari Gereja yang secara bebas juga kita bisa terjemahkan bahwasanya, salah satu dari dualisme tersebut terjadi ketidakberesan.
Sebagai umat katolik, saya menginginkan agar adanya panggung untuk berdebat, bagi para pemimpin Gereja lokal untuk bisa mengelaborasi dan mempertarungkan posisi dan gagasannya satu sama lain terhadap persoalan umat dan hak-hak masyarakat lokal sejak hadirnya proyek geotermal di pulau Flores ini.
Sebab ketika dualisme ini terus berlanjut, maka dengan sendirinya umat seperti sedang saling bertarung dalam dualisme itu.
Akan terjadi perbedaan pandangan di kalangan umat Katolik, terutama di Pulau Flores yang jumlah umatnya terbanyak di dunia setelah penambahan keuskupan baru Labuan Bajo. Jadi, jangan lagi abu-abu.
Selain untuk pencerahan publik, hal semacam ini juga bagian dari pengajaran iman. Tentu sesuai dengan semangat kesadaran pemimpin gereja akan program yang sudah dijalankan sebelumnya yaitu ekologi Integral demi menjaga keutuhan ciptaan-Nya.
Penulis adalah salah satu orang muda asal Poco Leok