Sumber: Situs Pertamina Geothermal Energy |
Di tengah perubahan iklim, transisi energi menjadi prioritas utama banyak negara, termasuk Indonesia, dalam upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menurunkan emisi karbon. Salah satu bentuk nyata dari komitmen ini adalah eksplorasi dan pengembangan energi panas bumi (geothermal). Namun, di balik agenda besar ini, terdapat masalah pelik yang sering terabaikan, yaitu hak dan keberlanjutan hidup masyarakat adat yang tinggal di sekitar wilayah eksplorasi. Dalam bayang-bayang pembangunan hijau, ketegangan antara agenda transisi energi oleh negara dan kepentingan masyarakat adat menjadi semakin meningkat.
Bagi masyarakat adat, tanah tidak hanya sekadar lahan untuk hidup, tetapi juga bagian integral dari identitas budaya dan spiritual mereka. Dalam menghadapi perlawanan masyarakat adat yang mempertahankan hak atas tanah dan budaya mereka, negara kerap kali merespons melalui tindakan koersif, yang dapat berupa kekerasan fisik atau nonfisik. Tindakan ini sering kali dilakukan untuk mempertahankan status quo atau melindungi kepentingan elite, termasuk melalui kriminalisasi atau tindakan represif lainnya.
Penggunaan aparat keamanan seperti polisi dan militer menjadi bagian dari respons represif negara yang memandang aksi penolakan masyarakat sebagai ancaman terhadap stabilitas proyek. Bentuk-bentuk respons koersif ini sering muncul saat negara merasa bahwa proyek yang dianggap vital bagi agenda pembangunan strategis mendapat hambatan dari masyarakat lokal. Sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), pengembangan geothermal di berbagai wilayah di Indonesia mendapat dukungan penuh dari lembaga internasional dan dianggap krusial untuk mencapai target energi terbarukan Indonesia. Dalam kasus seperti ini, kepentingan masyarakat adat sering kali diabaikan demi keberlanjutan proyek yang lebih mengutamakan efisiensi dan target jangka panjang pemerintah.
Green Developmentalism dan New Developmentalism: Ideologi dan Rasionalisasi di Balik Respons Negara
Respons koersif negara terhadap perlawanan masyarakat adat dalam proyek geothermal ini tidak muncul tanpa alasan. Pada dasarnya, kebijakan energi terbarukan di Indonesia didasarkan pada ideologi green developmentalism dan new developmentalism. Kedua ideologi ini berfokus pada pendekatan pembangunan yang mengutamakan efisiensi teknis dan sering kali mengabaikan konteks sosial dan budaya lokal yang penting bagi masyarakat adat.
Green developmentalism menempatkan negara sebagai aktor utama dalam mengarahkan dan mengelola proses pembangunan yang dianggap berkelanjutan, dalam hal ini transisi energi melalui geothermal. Dalam konteks ini, negara berperan sebagai pengarah kebijakan yang memprioritaskan pertumbuhan industri energi hijau. Agenda hijau ini sering kali dilaksanakan dengan dalih menjaga lingkungan dan menurunkan emisi karbon. Namun, pada kenyataannya, ideologi ini cenderung meminggirkan hak masyarakat yang langsung terdampak oleh proyek tersebut.
Sebaliknya, new developmentalism memusatkan perhatian pada percepatan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dan deregulasi. Di bawah pandangan ini, pembangunan energi terbarukan dianggap sebagai proyek strategis untuk mengatasi masalah energi dan meningkatkan kemandirian nasional. Namun, fokus ini mengorbankan aspek sosial dan lingkungan, terutama ketika negara dan perusahaan memprioritaskan nilai ekonomi yang akan diperoleh dari proyek tersebut. Logika teknokratis yang melekat dalam ideologi ini mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah koersif jika kepentingan pembangunan tersebut dirasa terganggu oleh perlawanan lokal.
Dekolonisasi ‘Energi’ Bersih dan ‘Hijau’: Untuk Siapa dan Untuk Apa?
Di balik transisi energi melalui geothermal yang diusung oleh pemerintah, ada pertanyaan yang perlu dijawab: Untuk siapa energi ini disediakan? Untuk tujuan apa? Narasi energi ‘bersih’ perlu dipertimbangkan kembali, karena asumsi bahwa semua proyek energi ‘bersih’ pada dasarnya menguntungkan harus dipertanyakan. Memberikan label ‘bersih’ pada energi panas bumi mengabaikan potensi kerugian lokal dan ketidakadilan sosial yang mungkin timbul dari proyek-proyek tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang apa yang dimaksud dengan energi ‘bersih’, yang tidak hanya melihat jenis energi itu sendiri, tetapi juga proses serta dinamika kekuasaan yang terlibat dalam produksi dan distribusinya.
Pendekatan ‘hijau’ dalam transisi energi ini perlu dibongkar dan dievaluasi kembali. Konsep energi hijau tidak seharusnya hanya dilihat dari aspek teknis dan ekonomi, tetapi harus mencakup keadilan sosial, keberlanjutan ekologi, serta penghormatan terhadap nilai-nilai adat dan hak asasi manusia. Untuk mencapai transisi energi yang benar-benar berkeadilan, pemerintah harus memperhitungkan aspirasi masyarakat adat dalam setiap langkah proyek energi terbarukan. Alih-alih menempatkan proyek geothermal sebagai ambisi besar yang harus dicapai bagaimanapun caranya, negara perlu membuka ruang dialog yang lebih transparan dan memberikan tempat bagi komunitas adat untuk terlibat secara bermakna dalam pengambilan keputusan.
Transisi energi akar rumput juga perlu dipertimbangkan. Hal ini dapat dilakukan jika demokratisasi energi dijalankan. Negara tidak menjadi aktor satu-satunya dalam transisi energi, melainkan mempertimbangkan peran masyarakat sebagai aktor yang juga harus diperhatikan.
Di akhir, pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah: apakah transisi energi hijau di Indonesia benar-benar untuk semua, atau hanya proyek ambisius yang mengorbankan pihak-pihak yang seharusnya dilindungi? Menjawab pertanyaan ini berarti membangun sebuah sistem pembangunan yang menghormati hak-hak masyarakat adat, melibatkan mereka dalam setiap proses, serta memastikan bahwa energi hijau tidak menjadi sekadar proyek prestisius yang mengejar keuntungan ekonomi semata. Transisi energi yang adil tidak dapat terwujud jika hak-hak masyarakat adat dan hak asasi manusia menjadi korban.
Oleh: Martin Dennise Silaban (Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM)
Tulisan ini diambil dari laman mudabicara.id
link: https://www.mudabicara.id/suara/mengurai-ketimpangan-dalam-proyek- geothermal-energi-bersih-untuk-siapa/