Poco Leok Melawan

Korupsi Kebijakan Ketika Sebagian Warga Adat Tidak Dilibatkan

Agustinus Tuju, salah satu warga adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai (mengenakan topi dan kain songke) sedang berbicara di sela-sela konser tersebut. (Dokumentasi Warga)

Pemahaman korupsi kebijakan akhirnya mengalihkan cara pandang baru terhadap polemik yang selama ini terjadi dan dialami oleh Sebagian warga Poco Leok yang getol menolak kehadiran proyek geotermal. 

klaim ramah lingkungan yang parasit dalam agenda proyek geotermal, perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang beroperasi sejak tahun 2011 lalu, Nampak tidak memperhitungkan hak-hak sebagian masyarakat adat yang tinggal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai. Hak atas tanah ulayat yang memiliki makna sosial, budaya, dan spiritual, direduksi menjadi sekadar aset ekonomi untuk mendukung agenda pembangunan.

Polemik yang terjadi ini menjadi perhatian sekaligus kampanye baik yang disampaikan oleh Agustinus Tuju, salah satu warga adat Poco Leok yang ikut dalam kegiatan kampanye anti korupsi yang dibarengi dengan konser musik dan peluncuran album “Menenun Suara Timur,” bersama Indonesia Corruption Watch [ICW] di Auditorium Universitas Nusa Cendana Kupang pada 14 Desember 2024 lalu.

Warga asal kampung adat Tere yang menjadi korban kekerasan aparat pada 2 Oktober 2024 lalu, saat melakukan protes dalam aksi "Jaga Kampung" terhadap proyek geothermal di Poco Leok, dengan tegas mengatakan bahwa korupsi paling besar adalah korupsi kebijakan. 

Pernyataan yang tak bisa dipungkiri, Dalam proses politik dan pemerintahan yang semakin dinamis, praktik korupsi semakin meluas dan merambat masuk ke dalam pelaksanaan proses politik dan pemerintahan, salah satunya dalam bentuk konflik kepentingan di dalam suatu kebijakan publik. 

Kebijakan publik yang seharusnya menjadi cara pemerintah untuk menyelesaikan masalah justru menjadi sarana formalisasi dan legalisasi kepentingan negara demi pembangunan dan kepentingan umum. Dan meski disaat yang bersamaan, memarjinalkan hak dasar dari Sebagian warga. Hal itu dibuktikan dengan narasi pemerintah tentang keunggulan geotermal, berbanding terbalik dengan sejumlah konflik yang dirasakan oleh sebagian warga lokal di Poco Leok selama 2 tahun terakhir.

Salah satunya adalah konflik agraria, yaitu ketika pemerintah, perusahaan PT. PLN dan Badan Pertanahan Nasional yang dikawal aparat keamanan polisi dan TNI selalu berhadap-hadapan dengan warga, maupun antarwarga yang terbelah dalam kubu pro dan kontra proyek. Represi dan intimidasi pun tak terhindarkan. Warga  mesti siap dengan konsekuensi itu.

Agustinus Tuju, salah satu warga adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai (mengenakan topi dan kain songke) sedang berbicara di sela-sela konser tersebut. (Dokumentasi Floresa)

Hal tersebut merujuk pada upaya paksa pengukuran lahan untuk proyek geotermal, yang selalu melibatkan aparat TNI/Polri. Kesempatan ini, pemerintah dan perusahaan menunggangi landasan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 19 Tahun 2021. 

Tak hanya itu, sejak awal proses pembangunan pengembangan proyek geotermal menyasar wilayah Poco Leok, tidak adanya keterbukaan informasi serta keterlibatan aktif warga untuk mengambil kebijakan. Keputusan sepihak ini seolah menabuh genderang perlawanan masyarakat adat, sejak izin lokasi proyek geotermal diteken oleh Bupati Manggarai, Heribertus G.L. Nabit melalui SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok, sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

korupsi kebijakan terjadi ketika “masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam perumusan sebuah kebijakan,” pungkas Agustinus Tuju. Hal itu membuat kepercayaan masyarakat adat terhadap pemerintah menurun lantaran suara mereka tidak pernah didengar. Para koruptor dan pengusaha besar, lanjutnya, tidak pernah memperhatikan keseimbangan alam yang telah dijaga oleh masyarakat adat. Mereka hanya memikirkan bagaimana investasi bisa berkembang. "Dengan terlebih dahulu menguasai tanah, kemudian adat dan budaya serta yang terakhir adalah manusia,”, tegasnya.

Pengambilan keputusan sepihak serta kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh negara, yaitu membentuk kemudian dijalankan melalui peraturan perundang-undangan tanpa menelisik lebih jauh sebuah identitas kebudayaan dan tradisi sebuah komunitas masyarakat adat setempat, tentu mengarah kepada conflict of interest yang tidak terelakkan. Bukankah negara sebagai rumah yang dihuni oleh masyarakat multikultur, menjadi keharusan untuk bisa hidup berdampingan dan menjamin hak-haknya? 

Oleh : Tim Redaksi


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak