Poco Leok Melawan

Fakta Buruk Dibalik Skema Teknologi Geotermal






Keterangan Foto : Sejumlah warga dari 10 Gendang (kampung adat) Poco Leok saat menerima kunjungan Tim Independen Bank KfW Jerman yang mendanai proyek geotermal di Poco Leok, pada 3 September 2024 untuk melakukan “validasi dan verifikasi” lapangan terkait polemik proyek tersebut. (Dokumentasi Poco Leok Melawan)


Oleh: Tim Redaksi

Energi hijau adalah energi yang diperoleh dari sumber-sumber yang ramah lingkungan dan tidak merusak bumi. Ini termasuk energi matahari, angin, dan biomassa. Namun, apakah dalam skema pengerjaannya, penerapan energi hijau yang terus digadang pemerintah dan perusahaan dalam proyek geotermal, betul-betul ramah?

Kita luput menyadari bahwa perjalanan mengubah geotermal menjadi listrik didapat dari proses ekstraktif yang memerlukan sumber daya yang cukup besar. Bahkan, tak dipungkiri pula, dalam prosesnya menimbulkan banyak konflik dengan masyarakat.

Ragam cerita terkait dampak geotermal; gempa bumi, pencemaran air tanah, gagal panen, hilangnya biodiversitas endemik, hingga kejadian tragis yang menewaskan warga setempat yang disebabkan gas beracun dari ledakan pipa, telah menyingkap sisi gelap Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP). Keberadaannya seolah sudah satu paket dengan ironi yang dimunculkan melalui cerita warga setempat dan berbagai laporan akademik.

CELIOS (Center of Economic and Law Studies) bersama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, meluncurkan kajian atas dampak Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pada 5 Maret 2024 dengan judul “Geotermal di Indonesia: Dilema Potensi & Eksploitasi Atas Nama Transisi Energi”.

Dalam catatan ini, redaksi akan membagikan sedikit dari banyaknya temuan kajian ilmiah yang berdampak pada lingkungan ketika metode kerja pembangkit listrik mulai beroperasi.

Sumber: Kajian CELIOS X Walhi


Metode yang dilakukan dalam pemanfaatan geotermal sebagai pembangkit listrik merupakan proses penambangan. Sebagaimana layaknya proses penambangan, akan ada proses pengeboran dalam operasionalnya. Tujuan dari pengeboran ini menghasilkan sumur produksi dan sumur injeksi.

Sumur produksi berfungsi untuk mengalirkan gas atau fluida panas dari dalam bumi menuju permukaan. Fluida panas inilah yang kemudian diolah menjadi energi. Akan tetapi, persediaan fluida panas alami ini terbatas dan suatu saat akan habis, sehingga dibuatlah sumur injeksi.

Sumur ini berfungsi mengalirkan fluida ke dalam perut bumi. Di dalam perut bumi, fluida ini akan bersentuhan dengan batuan panas dan mengalami kenaikan suhu untuk kemudian dialirkan kembali ke permukaan bumi melalui sumur produksi.

Proses inilah yang kerap kali membawa dampak signifikan pada merosotnya kualitas lingkungan, yang pada akhirnya tidak hanya mengorbankan ekosistem flora dan fauna, tapi juga ruang kehidupan manusia yang bergantung padanya.

a. Proyek Geothermal dan Korelasinya dengan Peningkatan Risiko Seismik

Dalam proses penambangan panas bumi, selalu ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas sistem panas bumi alami yang dimilikinya (Enhanced Geothermal System-EGS), demi kelangsungan proses produksi.

Salah satu metode yang populer adalah Hydraulic Fracturing (Fracking). Teknik ini dilakukan dengan membuat rekahan pada reservoir, untuk meningkatkan kemampuan (permeabilitas) tanah dalam meloloskan air melalui ruang pori.

Teknik ini bukan tanpa risiko, karena peningkatan permeabilitas berarti juga penurunan daya ikat (kohesivitas) yang dimiliki batuan. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya gempa bumi minor. Ditambah dengan sifat tektonik Indonesia yang sangat aktif di beberapa tempat, gempa minor merupakan formula ampuh untuk menimbulkan gempa bumi besar.

Patut disayangkan bagaimana di Indonesia, banyak aduan terkait dugaan dampak gempa bumi yang disebabkan oleh operasional PLTP kerap kali tidak ditindak lanjuti dengan penelitian lebih mendalam.

Hal ini menyebabkan catatan ilmiah terkait implikasi PLTP sangat kurang. Beberapa keluhan yang diduga keras disebabkan karena aktivitas penambangan panas bumi antara lain datang dari warga lereng Gunung Salak. Mereka mengatakan kerap merasakan beberapa kali gempa bumi di daerahnya semenjak PLTP Gunung Salak pertama kali beroperasi.

Hal serupa turut dirasakan oleh warga Dieng, persisnya di kawasan Kepakisan, Batur. Dikabarkan satu rumah roboh karena keretakan parah pada dindingnya, yang diduga disebabkan aktivitas pengeboran dan operasional fracking.

Kekhawatiran tentang risiko seismik terkait pengeboran panas bumi telah memicu protes lokal, dan dalam beberapa kasus, menyebabkan pembatalan proyek di Eropa. Jarak lokasi proyek dengan daerah perkotaan seringkali akan mempengaruhi tingkat penerimaan oleh masyarakat.

Proyek-proyek geothermal yang dekat daerah perkotaan memiliki penerimaan yang lebih rendah di masyarakat karena kekhawatiran risiko seismik yang telah berulang kali terjadi dalam operasinya.

Serangkaian gempa bumi yang terjadi di Basel, Swiss antara Desember 2006 hingga Maret 2007, menjadi peristiwa awalan yang mengingatkan masyarakat Eropa akan ancaman yang mungkin muncul dari operasi geotermal.

Lebih dari 10.000 kejadian gempa bumi yang terkait dengan proyek panas bumi terdeteksi oleh enam seismometer yang ditempatkan di sekitar sumur injeksi di Basel. Klaim kerusakan kemudian diajukan pasca peristiwa tersebut yang harus dibayar oleh perusahaan asuransi proyek tersebut hingga senilai 9 juta franc Swiss.

Setelah penyelidikan komprehensif selama tiga tahun, proyek geothermal di Basel akhirnya dihentikan pada 2009.

Hampir berbarengan dengan penutupan proyek Geothermal di Basel, Swiss, pada tahun 2009, di Duttweiler, Jerman penolakan pertama terhadap operasi geothermal muncul setelah serangkaian gempa berkekuatan hingga 2,7 M yang dipicu oleh proyek geothermal.

Belakangan, kejadian gempa bumi yang dipicu aktivitas geothermal juga terjadi di Perancis pada Desember 2020, di mana area sekitar Strasbourg diguncang oleh rangkaian gempa dengan magnitudo hingga 3,5.

Pusat gempa diketahui berada sekitar 10 kilometer utara Strasbourg, dekat dengan lokasi proyek pembangkit listrik tenaga geothermal yang tengah dikerjakan.

b. Pelesakan Tanah dan Resikonya pada Perubahan Relief Bumi

Dalam salah satu kesaksian warga Dieng, selain kerap terjadinya gempa bumi yang menyebabkan satu rumah roboh, mereka juga kerap merasakan lapisan-lapisan tanah yang mendadak melesak atau ambles pada lahan mereka.

Hal serupa juga dialami oleh warga Mataloko, Flores - NTT. Berawal dari timbulnya lubang-lubang kecil yang kemudian membesar dan secara gradual terisi lumpus dan gas panas, berujung pada lima hektar sawah warga mati total dan tak lagi dapat berproduksi. Begitupun lahan di sekitarnya yang semakin kering dan kualitasnya niscaya menurun.

Peristiwa pelesakan permukaan tanah yang berujung pada perubahan relief bumi ini disebabkan karena berkurangnya kepadatan tanah. Aktivitas penambangan panas bumi yang dilakukan dengan terus menerus menarik dan menyalurkan air dalam proses operasinya, mengakibatkan kepadatan tanah terganggu.

Tekanan pori yang menurun dengan tekanan efektif yang naik proporsional dengan kompresibilitas dan ketebalan lapisan yang mengkompaksi. Dengan kata lain, berat yang disebabkan tetap, sementara tekanan di dalam pori tanah dan batuan justru menurun.

Hal ini mengakibatkan struktur tanah menjadi tidak stabil dan tanah mengalami kekeringan, makan peristiwa amblesnya tanah menjadi tak terhindarkan. Potensi ambles meningkat saat musim hujan, dimana bukan tidak mungkin akan mengakibatkan bencana longsor.

Sebagai akibat dari ekstraksi fluida geothermal selama lebih dari 50 tahun (pada saat penelitian dilakukan), penurunan muka tanah terjadi di lapangan geothermal di Wairakei dan Tauhara, membentuk cekungan serupa kawah-kawah bulan di wilayah ini. Total penurunan muka tanah di Wairakei dan Tauhara terhitung telah mencapai 15 meter, sebuah fenomena penurunan tanah yang paling besar yang tercatat pernah terjadi sebagai akibat ekstraksi fluida dari tanah, bahkan lebih besar dari yang disebabkan oleh eksploitasi air tanah di perkotaan, atau penggunaan dalam pertambangan minyak dan gas.

c. Kerusakan Sistem Akuatik; Kelindan Pencemaran Air, Kerusakan Tanah, Hingga Penurunan Produktivitas Pertanian

Sistem operasional dalam pembangkit listrik tenaga panas bumi sangat bergantung pada jumlah pasokan air bersih. Dalam riset yang dilakukan Walhi Jawa Tengah, aktivitas penambangan panas bumi dikalkulasikan membutuhkan setidaknya 40 liter per detik, atau sekitar 6.500 - 15.000 liter air untuk menghasilkan 1 Mwe listrik.

Air dibutuhkan dalam proses injeksi, di mana berkubik‑kubik air bersih disemprotkan ke batuan panas di dalam perut bumi guna menghasilkan uap panas. Selain itu, air juga diperlukan dalam proses fracking, yang mana sejumlah besar air bertekanan tinggi diinjeksikan ke batuan untuk menghasilkan retakan dan daya permeabilitas yang lebih tinggi.

Pada proses implementasinya, metode ini tidak hanya berdampak pada terganggunya stabilitas tanah, tapi juga meningkatkan potensi pencemaran air tanah.

Pertama, dalam proses fracking, air yang dipergunakan telah dicampur zat kimia yang berfungsi mempermudah proses peretakan batuan. Hal inilah yang menjadi penyebab pencemaran pada air tanah. Pencemaran terjadi akibat larutan hidrotermal yang mengandung berbagai kontaminan, antara lain arsenik, antimon, dan boron.

Kedua, menurunnya kualitas selubung bor (casing), baik pada sumur injeksi maupun pada sumur bor, juga bisa menjadi penyebab pencemaran air. Casing yang sudah tidak lagi mumpuni menyebabkan timbulnya kebocoran dan berujung pada keruhnya air tanah.

Ketiga adalah praktik reinjeksi yang tidak tepat dan berujung pada tersebarnya air, berasal dari proses hidrotermal di dalam lapisan akuifer, hingga kemudian naik ke permukaan melalui sumur-sumur pompa.

Keempat, terjadinya pencemaran air pada operasional geothermal diakibatkan pembuangan air bekas geothermal ke aliran permukaan. Air yang sudah terkontaminasi ini kemudian mengalir meluas, sehingga masuk ke badan air permukaan; saluran‑saluran air milik warga ataupun sumber‑sumber pasokan air yang mereka gunakan.

Di Indonesia sendiri, kasus pencemaran air (yang berkorelasi langsung dengan terganggunya pasokan air bersih), merupakan salah satu dampak yang paling dirasakan warga di sekitar proyek PLTP, terutama yang telah beroperasi.

Dampak ini merupakan salah satu yang paling berat, karena tidak hanya berpengaruh pada kebutuhan keseharian, tapi juga sumber penghidupan warga yang sebagian besar merupakan petani, sebagaimana yang terjadi di kawasan Dieng.

Selain Dieng, buntut operasional PLTP Lahendong di Sulawesi Utara juga menyisakan cerita getir rusaknya Danau Linow, yang selama ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu indikator pencemaran badan air tersebut dibuktikan dengan hilangnya populasi sayok dan komo di Danau Linow semenjak operasional PLTP.

Sayok dan komo merupakan serangga endemik Danau Linow yang hidup di permukaan air. Karena serangga ini sangat rentan dan sensitif terhadap perubahan sekecil apapun pada perairan, maka serangga ini dijadikan sebagai bioindikator pencemaran air danau.

Operasi panjang geothermal di Selandia Baru juga menyebabkan kerusakan pada geyser dan pencemaran logam berat pada badan perairan. Lebih dari 100 sistem geyser telah rusak, atau sepenuhnya hilang, akibat dari pengembangan energi geothermal.

Geyser adalah jenis mata air panas langka yang karena adanya tekanan kemudian menyembur dan mengirimkan semburan air dan uap ke udara. Bagi masyarakat Selandia Baru, geyser memiliki banyak arti penting, baik untuk kepentingan rekreasi, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan.

Hilangnya banyak geyser akibat operasi geothermal di Selandia Baru bahkan dianggap sebagai "salah satu kerugian lingkungan terbesar dalam sejarah Selandia Baru". Kerugian lingkungan yang dirasakan Selandia Baru bukan hanya tentang hilangnya geyser. Operasi PLTP Wairakei juga menyumbang buangan arsenik di Sungai Waikato—sungai terpanjang di Selandia Baru, dengan konsentrasi mencapai 0,06 mg/L, 6 kali melampaui ambang batas yang seharusnya hanya sebesar 0,01 mg/L.

Selain Selandia Baru, Jepang juga mengalami insiden pada Proyek Rankoshi di Hokkaido. Operasional geothermal di wilayah ini menyebabkan polusi arsenik dalam sistem sungai mereka, bahkan jumlah arsenik yang mencemari sungai di Jepang jauh lebih besar daripada di Selandia Baru.

Dalam peristiwa yang baru saja terjadi pada 29 Juni 2023 lalu ini, ledakan (blowout) yang terjadi di situs geotermal melepaskan gas hidrogen sulfida ke udara serta mengakibatkan pelepasan arsenik hingga 11 mg/L‑15.9 mg/L ke Sungai Niseko Anbetsu.

d. Gas Rumah Kaca dan Lepasan Beracun

Di belahan wilayah manapun proyek eksplorasi (dan eksploitasi) geothermal akan dilakukan, narasi rendah risiko senantiasa tanpa absen digaungkan. PLTP selalu dikomparasikan dengan PLTU batubara konvensional dalam konteks keluaran emisi gas rumah kaca/GRK yang lebih rendah.

Dan oleh karena itu, menjadi pilihan yang lebih hijau, lebih handal, dan tidak seharusnya ditolak oleh masyarakat sekitar. Akan tetapi, geothermal sebenarnya tak se“hijau” seperti yang digadang-gadang selama ini.

Pada PLTP, emisi GRK meliputi emisi yang dikeluarkan selama siklus konstruksi/plant cycle dan siklus operasional/fuel cycle. Kalkulasi data dari Italia dan sejumlah lokasi di Turki mengungkap bahwa emisi GRK dari siklus operasional PLTP bisa setara dengan atau bahkan lebih tinggi dari PLTU batubara konvensional.

Sedangkan plant cycle meliputi emisi yang terkait dengan pembangunan pembangkit listrik dan instalasi permukaan, pengeboran dan penyelesaian sumur-sumur, produksi bahan yang diperlukan untuk instalasi, hingga pembongkaran fasilitas tersebut.

Selain faktor emisi karbonnya, proyek geothermal berada di bayang-bayang potensi bencana karena keluaran gas beracunnya. Selama proses ekstraksi panas bumi, akan ada hidrogen sulfida/H2S dilepaskan ke atmosfer.

H2S merupakan gas beracun yang memiliki bau menyengat (bau telur busuk) dan paparan dalam konsentrasi yang tinggi akan membahayakan manusia.

Operasional PLTP yang mengabaikan asas kehati-hatian akan meningkatkan jatuhnya korban jiwa. Misalnya seperti yang terjadi di PLTP Sorik Marapi, Sumatera Utara, yang kejadiannya terus berulang.

Pada 16 September 2022, sekitar delapan warga adat Mandailing yang tinggal di sekitar proyek PT. Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) terpapar gas H2S.

Saat warga Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal tengah bersantai, ada yang tiba-tiba tergeletak di jalan dan menyusul yang lain.

Kebocoran gas hidrogen sulfida yang meracuni warga di sekitar unit pembangkit ini acap kali terjadi. Bahkan pada 25 Januari 2021, lima orang tewas dan puluhan warga dilarikan ke rumah sakit karena hidrogen sulfida.

Pada 6 Maret 2022, kembali terjadi kebocoran gas dan sedikitnya 52 orang jadi korban dan dilarikan ke rumah sakit. Kemudian berlanjut pada 24 April 2022 sebanyak 21 orang jadi korban dan satu di antaranya adalah anak berusia 6 bulan. Bukan hanya gas, tetapi juga semburan lumpur panas bercampur gas beracun.

Lebih dari 200 kilometer jauhnya dari PLTP Sorik Marapi, tepatnya di Desa Banuaji, Tapanuli Utara, seorang pemilik lahan juga ditemukan tewas di tengah sawahnya. Saat itu, warga menemukan buih bening bermunculan di area persawahan yang juga mengeluarkan aroma belerang/telur busuk yang lama kelamaan pun tercium hingga ke perkampungan. Hal itu sebenarnya sudah terjadi sejak mulai beroperasinya PLTP Sarulla yang berjarak sekitar 5 kilometer dari perkampungan dan semakin parah seiring berjalannya waktu.

Masyarakat terdampak proyek PLTP Mataloko mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) serta gatal-gatal yang diakibatkan dari semburan uap belerang dan lumpur. Tak hanya pada saat musim kemarau, saat debit air hujan minim, gangguan pernapasan tersebut bahkan dialami warga saat musim penghujan.

Dampak kesehatan yang tak lagi dibatasi oleh musim tersebut adalah alarm bahaya; bukti ini sebagai masalah serius yang harus segera ditangani. Kesehatan masyarakat adalah prioritas utama, dan dampak negatif seperti ISPA dan iritasi kulit tak cukup hanya diminimalkan, ini perlu dihindarkan sepenuhnya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak